Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Pernah nggak sih, kamu dengar istilah hoe phase? Belakangan, istilah ini menjadi ramai dibicarakan di media sosial, dan ada yang mendukung namun ada juga yang mencibir.
Perdebatan ini dimulai saat sebuah akun di TikTok mengunggah pernyataan yang membanggakan dirinya karena tidak pernah melewati fase 'hoe phase' tersebut.
Ia menganggap keputusan itu sebagai sebuah pencapaian besar, dengan alasan ingin menjaga dirinya sebagai calon istri dan ibu yang baik.
Menurutnya, dengan tidak mengalami hoe phase, ia telah menjaga harga diri serta menghindari rasa malu bagi pasangannya di masa depan.
Baca Juga
-
Induksi Laktasi, Pilihan untuk Ibu Adopsi yang Ingin MengASIhi
-
Heboh Pergub Poligami: Mengapa Negara Harus Ikut Campur Dalam Urusan Rumah Tangga ASN?
-
Solidaritas Perempuan di Era Digital: Gerakan #MeToo Menggugah Kesadaran dan Menuntut Perubahan
-
Jakarta Hadirkan Mobil SAPA, Layanan Konseling Keliling Khusus Perempuan dan Anak
-
Retail Therapy: Obat Mujarab untuk Hati yang Sedih atau Jebakan Konsumtif?
-
Polemik Zakat untuk Makan Bergizi Gratis: Memang Dana Umat Boleh Biayai Program Pemerintah?
Hoe phase sendiri merujuk pada suatu periode dalam hidup seseorang, umumnya perempuan muda, di mana mereka mengeksplorasi aspek seksualitas mereka melalui berbagai hubungan kasual dengan pasangan yang berbeda.
Tapi, kenapa kalau laki-laki melakukannya dianggap biasa, sementara perempuan malah dihujani stigma?
Apakah hoe phase itu benar-benar bentuk kebebasan, atau justru perangkap baru dalam standar ganda yang sudah mengakar?
Hoe Phase dan Kebebasan Seksual Perempuan
Melansir dari The Courier, istilah "hoe phase" awalnya berasal dari slang di Amerika pada era 1960-an. Kata “hoe” merupakan bentuk singkat dari “whore,” yang berarti pelacur. Istilah ini kerap digunakan untuk merendahkan perempuan, khususnya pekerja seks.
Seiring berjalannya waktu, istilah ini mulai diadopsi dalam narasi kebebasan seksual (sexual liberation), khususnya oleh perempuan yang ingin mengambil kendali atas tubuh dan hasrat mereka sendiri.
Selain itu, mereka yang menjalani fase ini tetap memiliki kendali penuh atas keputusan mereka, termasuk kapan harus menghentikannya atau keluar dari fase tersebut sesuai dengan keinginan pribadi.
Tak hanya soal aktivitas seksual, fase ini juga mencerminkan upaya perempuan untuk menentukan apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Namun, gagasan ini tidak lepas dari pengaruh patriarki yang masih mendominasi masyarakat.
Standar Ganda dan Slut Shaming
Unggahan di tiktok tersebut menuai banyak respon, baik negatif dan positif. Perempuan yang menjalani "hoe phase" justru menjadi korban stigma, termasuk dari sesama perempuan.
Stigma terhadap "hoe phase" tidak bisa dilepaskan dari fenomena slut shaming, yaitu mempermalukan perempuan atas pilihan seksual mereka. Ironisnya, bahkan perempuan sering kali tanpa sadar melakukan tindakan ini terhadap sesama perempuan
Perempuan yang mengaku bangga tidak pernah menjalani "hoe phase" mendapatkan dukungan, tetapi juga kritik. Bangga karena "berbeda dari perempuan lain" dapat menjadi bentuk baru dari merendahkan perempuan.
Tak hanya menjadi korban stigma, standar ganda ini juga sangat kentara di mana saat laki-laki yang memiliki banyak pasangan seksual sering dianggap "jantan" atau "normal" sedangkan perempuan yang melakukan hal serupa dicap sebagai "tidak bermoral".
Sahabat Dewiku, perlu diingat bahwa "hoe phase" adalah bagian dari perjalanan hidup seseorang untuk mengeksplorasi seksualitas dan mengenal diri mereka sendiri.
Meskipun sering mendapatkan cap buruk, fase ini sebenarnya merupakan bentuk pemberontakan terhadap norma patriarkal. Perempuan yang menjalani fase ini berupaya merebut kembali kendali atas tubuh dan hidup mereka.
Jika laki-laki dibiarkan bebas mengeksplorasi hidup mereka, mengapa perempuan tidak mendapatkan hak yang sama? Menghormati pilihan individu merupakan langkah menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.
Penulis: Humaira Ratu Nugraha
Terkini
- Lebih dari Sekadar Musik, Ada Pesan Pemberdayaan Perempuan dari JENNIE Lewat Album Ruby
- Cyberstalking Merusak Mental dan Fisik: Bagaimana Perempuan Bisa Melindungi Diri Mereka?
- Rahasia Tangguh: Kuasai Self-Compassion untuk Kesehatan Mental
- Zombieing: Ketika Mantan Datang Tanpa Diundang, Lebih Seram dari Ghosting!
- Rebound Relationship: Ketika Mantan Jadi Bayang-Bayang Pacar Baru
- Stop Self-Talk Negatif! Ini Cara Membangun Self-Respect di Era Digital
- Merasa Kecil di Dunia yang Besar: Menggali Akar Inferiority Complex
- Resah Driver Ojol Perempuan: Ada Ketidakadilan Mengintai di Setiap Kilometer
- Fake It Till You Make It: Boleh Dicoba, Asal Jangan Kebablasan, Girls!
- Fatphobia Bukan Sekadar Masalah Berat Badan, Tapi Diskriminasi!