Kamis, 13 Februari 2025
Vania Rossa : Selasa, 28 Januari 2025 | 17:00 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - "Perempuan jangan terlalu mandiri, nanti laki-laki minder!" 

Pernah dengar kalimat seperti ini? Anggapan bahwa perempuan tidak boleh terlalu mandiri karena akan membuat laki-laki merasa minder tentu saja adalah sebuah pandangan yang sudah usang dan diskriminatif. Pandangan ini mengakar kuat dalam budaya patriarki, di mana peran gender sangat kaku dan perempuan diharapkan pasif dan bergantung pada laki-laki. 

Dan percaya atau tidak, pemikiran seperti ini masih berkeliaran di sekitar kita. Seolah-olah perempuan yang cerdas, mandiri, dan aktif akan mengancam eksistensi laki-laki. 

Nah, fenomena ini berkaitan erat dengan konsep fragile masculinity atau maskulinitas rapuh. Istilah ini menggambarkan kondisi di mana laki-laki merasa "terancam" ketika tidak memenuhi standar maskulinitas yang sudah dibentuk oleh budaya patriarki. 

Akibatnya, mereka cenderung menunjukkan sikap dominan, agresif, atau justru menolak hal-hal yang dianggap terlalu 'feminin'.

Masalahnya, ini bukan cuma soal laki-laki yang merasa minder saja, tetapi juga berdampak pada perempuan dan masyarakat secara keseluruhan.

Secara harfiah, fragile berarti rapuh atau mudah runtuh, sementara masculinity merujuk pada karakteristik tradisional yang dikaitkan dengan kejantanan. 

Dilansir dari Pshyclogy Today, laki-laki yang mengalami ini sering kali memiliki pola perilaku yang khas. Mereka cenderung takut terlihat lemah, sehingga sebisa mungkin menekan emosi dan selalu ingin tampak tangguh di hadapan orang. 

Selain itu, mereka juga cenderung berusaha mengontrol situasi atau orang lain untuk menegaskan posisi mereka. Mereka yang mengalami ini juga sulit menerima perbedaan,  seperti perempuan yang mandiri dianggap sebagai ancaman. 

Dampak Fragile Masculinity Terhadap Perempuan

Kondisi ini tak hanya menjadi beban bagi laki-laki, tetapi juga memberikan dampak yang signifikan terhadap perempuan. 

1. Kontrol Berlebihan dalam Hubungan dan Kehidupan Sosial

Laki-laki dengan kondisi ini cenderung memiliki kebutuhan untuk menunjukkan dominasinya, terutama dalam hubungan. 

Mereka merasa perlu mengontrol pasangan mereka. Mulai dari cara berpakaian, dengan siapa mereka bergaul, hingga keputusan besar dalam hidup seperti pendidikan dan karier. 

Hal ini berakar dari ketakutan bahwa perempuan yang terlalu mandiri atau sukses akan mengurangi peran laki-laki dalam sebuah hubungan.

2. Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Ruang Publik

Laki-laki yang merasa maskulinitasnya terancam cenderung merespons dengan cara agresif untuk menegaskan kembali kekuasaannya. Ini dapat terjadi dalam bentuk kekerasan verbal, emosional, hingga fisik dalam hubungan rumah tangga maupun lingkungan kerja.

Misalnya, dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga, laki-laki yang mengalami ini menunjukkan superioritas mereka melalui kekerasan, sebagai cara untuk mempertahankan harga diri dan dominasi mereka.

Tak hanya itu, di ruang publik, perempuan sering kali menjadi korban pelecehan verbal atau fisik oleh laki-laki yang merasa perlu membuktikan maskulinitasnya, seperti catcalling dan komentar merendahkan terhadap perempuan. 

3. Hambatan dalam Karier dan Pendidikan

Di tempat kerja, perempuan sering mengalami diskriminasi berbasis gender, mulai dari penggajian yang tidak setara hingga kesulitan mendapatkan posisi kepemimpinan.

Laki-laki yang merasa tidak nyaman dengan perempuan yang berkuasa cenderung meragukan kemampuan mereka, bahkan secara aktif menghambat kemajuan karier mereka. Hal ini sering tercerminkan melalui relasi kuasa yang kerap kali dialami perempuan. 

4. Beban Ganda dalam Peran Domestik

Di tengah masyarakat yang masih teguh dengan konsep patriarki, kondisi ini memperkuat ekspektasi bahwa perempuan harus tetap menjadi pengurus rumah tangga, bahkan ketika mereka memiliki karier profesional. 

Akibatnya, banyak perempuan mengalami beban ganda yang melelahkan secara fisik dan mental. Ketidakadilan ini juga semakin diperparah oleh norma sosial yang menilai perempuan berdasarkan peran mereka dalam keluarga, bukan berdasarkan pencapaian pribadi mereka.

5. Penekanan Terhadap Perempuan dalam Ekspresi Diri dan Identitas

Kondisi ini sangat berdampak dengan bagaimana cara perempuan mengekspresikan diri. Banyak perempuan yang merasa perlu menyesuaikan diri agar tidak dianggap "terlalu kuat" atau "terlalu independen," karena takut mendapat penolakan sosial atau sulit mendapatkan pasangan.

Pada akhirnya, anggapan bahwa perempuan tidak boleh terlalu mandiri adalah sebuah anggapan yang tak lagi relevan. Jadi, jangan takut untuk mengambil setiap kesempatan yang ada untuk sama-sama berkembang.

(Humaira Ratu)

BACA SELANJUTNYA

Dari Rumah Tangga Hingga Karier, Ada Beban "Blame the Women Syndrome" yang Mencekik Perempuan