Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - "Perempuan jangan terlalu mandiri, nanti laki-laki minder!"
Pernah dengar kalimat seperti ini? Anggapan bahwa perempuan tidak boleh terlalu mandiri karena akan membuat laki-laki merasa minder tentu saja adalah sebuah pandangan yang sudah usang dan diskriminatif. Pandangan ini mengakar kuat dalam budaya patriarki, di mana peran gender sangat kaku dan perempuan diharapkan pasif dan bergantung pada laki-laki.
Dan percaya atau tidak, pemikiran seperti ini masih berkeliaran di sekitar kita. Seolah-olah perempuan yang cerdas, mandiri, dan aktif akan mengancam eksistensi laki-laki.
Nah, fenomena ini berkaitan erat dengan konsep fragile masculinity atau maskulinitas rapuh. Istilah ini menggambarkan kondisi di mana laki-laki merasa "terancam" ketika tidak memenuhi standar maskulinitas yang sudah dibentuk oleh budaya patriarki.
Baca Juga
-
Satine, Perjalanan Memahami Rasa Kesepian Lewat Karya Terbaru Ika Natassa
-
Suka Menumpuk Barang Tak Terpakai? Keterikatan Emosional yang Sulit Lepas pada Penderita Hoarding Disorder
-
Survei: Banyak Gen Z Khawatir dengan Masa Depan Hingga Picu Gangguan Kesehatan Mental
-
Mau Kuliah atau Kerja, Apa yang Harus Dipersiapkan Saat Pindah ke Luar Negeri?
-
Stunting Ternyata Bisa Dialami Anak dari Keluarga Mampu, Kok Bisa?
-
Vonis Bebas Septia jadi Bukti Waktunya Hentikan Kriminalisasi Pekerja!
Akibatnya, mereka cenderung menunjukkan sikap dominan, agresif, atau justru menolak hal-hal yang dianggap terlalu 'feminin'.
Masalahnya, ini bukan cuma soal laki-laki yang merasa minder saja, tetapi juga berdampak pada perempuan dan masyarakat secara keseluruhan.
Secara harfiah, fragile berarti rapuh atau mudah runtuh, sementara masculinity merujuk pada karakteristik tradisional yang dikaitkan dengan kejantanan.
Dilansir dari Pshyclogy Today, laki-laki yang mengalami ini sering kali memiliki pola perilaku yang khas. Mereka cenderung takut terlihat lemah, sehingga sebisa mungkin menekan emosi dan selalu ingin tampak tangguh di hadapan orang.
Selain itu, mereka juga cenderung berusaha mengontrol situasi atau orang lain untuk menegaskan posisi mereka. Mereka yang mengalami ini juga sulit menerima perbedaan, seperti perempuan yang mandiri dianggap sebagai ancaman.
Dampak Fragile Masculinity Terhadap Perempuan
Kondisi ini tak hanya menjadi beban bagi laki-laki, tetapi juga memberikan dampak yang signifikan terhadap perempuan.
1. Kontrol Berlebihan dalam Hubungan dan Kehidupan Sosial
Laki-laki dengan kondisi ini cenderung memiliki kebutuhan untuk menunjukkan dominasinya, terutama dalam hubungan.
Mereka merasa perlu mengontrol pasangan mereka. Mulai dari cara berpakaian, dengan siapa mereka bergaul, hingga keputusan besar dalam hidup seperti pendidikan dan karier.
Hal ini berakar dari ketakutan bahwa perempuan yang terlalu mandiri atau sukses akan mengurangi peran laki-laki dalam sebuah hubungan.
2. Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Ruang Publik
Laki-laki yang merasa maskulinitasnya terancam cenderung merespons dengan cara agresif untuk menegaskan kembali kekuasaannya. Ini dapat terjadi dalam bentuk kekerasan verbal, emosional, hingga fisik dalam hubungan rumah tangga maupun lingkungan kerja.
Misalnya, dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga, laki-laki yang mengalami ini menunjukkan superioritas mereka melalui kekerasan, sebagai cara untuk mempertahankan harga diri dan dominasi mereka.
Tak hanya itu, di ruang publik, perempuan sering kali menjadi korban pelecehan verbal atau fisik oleh laki-laki yang merasa perlu membuktikan maskulinitasnya, seperti catcalling dan komentar merendahkan terhadap perempuan.
3. Hambatan dalam Karier dan Pendidikan
Di tempat kerja, perempuan sering mengalami diskriminasi berbasis gender, mulai dari penggajian yang tidak setara hingga kesulitan mendapatkan posisi kepemimpinan.
Laki-laki yang merasa tidak nyaman dengan perempuan yang berkuasa cenderung meragukan kemampuan mereka, bahkan secara aktif menghambat kemajuan karier mereka. Hal ini sering tercerminkan melalui relasi kuasa yang kerap kali dialami perempuan.
4. Beban Ganda dalam Peran Domestik
Di tengah masyarakat yang masih teguh dengan konsep patriarki, kondisi ini memperkuat ekspektasi bahwa perempuan harus tetap menjadi pengurus rumah tangga, bahkan ketika mereka memiliki karier profesional.
Akibatnya, banyak perempuan mengalami beban ganda yang melelahkan secara fisik dan mental. Ketidakadilan ini juga semakin diperparah oleh norma sosial yang menilai perempuan berdasarkan peran mereka dalam keluarga, bukan berdasarkan pencapaian pribadi mereka.
5. Penekanan Terhadap Perempuan dalam Ekspresi Diri dan Identitas
Kondisi ini sangat berdampak dengan bagaimana cara perempuan mengekspresikan diri. Banyak perempuan yang merasa perlu menyesuaikan diri agar tidak dianggap "terlalu kuat" atau "terlalu independen," karena takut mendapat penolakan sosial atau sulit mendapatkan pasangan.
Pada akhirnya, anggapan bahwa perempuan tidak boleh terlalu mandiri adalah sebuah anggapan yang tak lagi relevan. Jadi, jangan takut untuk mengambil setiap kesempatan yang ada untuk sama-sama berkembang.
(Humaira Ratu)
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri